Sebuah
asas hukum menyatakan nullum crimen sine poena, yang artinya adalah
tiada kejahatan yang boleh dibiarkan begitu saja tanpa hukuman. Demikian pula
dengan kejahatan terorisme yang harus dibuatkan suatu instrumen hukumnya. Saat
ini, terorisme telah menjadi suatu kejahatan lintas negara, terorganisir, dan
bahkan merupakan tindak pidana internasional yang mempunyai jaringan luas, yang
mengancam perdamaian dan keamanan nasional maupun internasional.
Terorisme telah lama dianggap sebagai kejahatan bertaraf
internasional, tetapi hingga saat ini tidak ada definisi mengenai terorisme yang dapat diterima secara
universal. Kesulitan memberikan suatu definisi terhadap terorisme terkait
dengan sensitifitas isu terkait terorisme ditambah juga banyaknya pihak yang
berkepentingan (stakeholder) terhadap isu terorisme, baik itu orang per
orang, organisasi, bahkan suatu negara.
Pengertian
Terorisme
Banyaknya
pihak yang berkepentingan dalam isu terorisme terutama terkait dengan politik,
telah melahirkan berbagai opini yang berpengaruh terhadap definisi terorisme,
salah satunya opini Peter Rösler-Garcia, seorang ahli politik dan ekonomi luar
negeri dari Hamburg, Jerman yang menyatakan tidak ada suatu negara di dunia ini
yang secara konsekuen melawan terorisme.
Sebagai
contoh, Amerika Serikat sebagai negara yang paling gencar mempropagandakan isu
“Perang Global Melawan Terorisme”, membiayai kelompok teroris "IRA"
di Irlandia Utara atau gerakan bersenjata "Unita" di Angola.
Selanjutnya, politikus Uni Eropa mendukung bermacam kelompok teroris di Afrika,
Asia, Amerika Latin-termasuk gerakan teroris di Uni Eropa sendiri, sebagai
"ETA" dari Spanyol. Ada juga pemerintah negara atau pemerintahan
kotapraja Uni Eropa yang secara resmi melindungi kewakilan kelompok ekstremis
itu di wilayah mereka, dan yang lain menerima kegiatan kelompok itu secara
diam.
Banyaknya
kepentingan berlatar belakang politik, menyebabkan pemahaman mengenai
pengertian terorisme juga terbias akibat perbedaan sudut pandang. Perbedaan
sudut pandang ini terlihat dalam kasus invasi Amerika Serikat ke Irak pada 2003.
Amerika Serikat melegitimasi tindakannya menginvasi Irak karena menganggap Irak
sebagai teroris sebab Irak memiliki senjata pemusnah masal, namun disisi lain,
banyak negara yang menyatakan Amerika sendirilah yang merupakan negara teroris
(state terrorist), karena terlepas dari banyaknya pengaruh kepentingan
politik dalam pendefinisian terorisme, ada hal lain yang mempengaruhi sulitnya
memberikan definisi yang objektif. Kesulitannya terletak dalam menentukan
secara kualitatif bagaimana suatu peristiwa dapat dikategorikan sebagai
terorisme.
Teror
yang merupakan kata dasar dari terorisme bersifat sangat subjektif. Artinya,
setiap orang memiliki batas ambang ketakutannya sendiri, dan secara subjektif
menentukan apakah suatu peristiwa merupakan teror atau hanya peristiwa biasa.
Akibatnya, suatu perisitwa teror bagi seseorang belum tentu merupakan teror
bagi orang lain. Jason Burke dalam bukunya Al-Qaeda: The True Story of
Radical Islam, juga menyatakan sebagai berikut.
There are multiple
ways of defining terrorism, and all are subjective. Most define terrorism as
'the use or threat of serious violence' to advance some kind of 'cause'. Some
state clearly the kinds of group ('sub-national', 'non-state') or cause
(political, ideological, religious) to which they refer.
Telah
dijelaskan sebelumnya, hingga saat ini tidak ada definisi mengenai terorisme
yang digunakan secara universial. Akan tetapi guna memperoleh pemahaman
terhadap terorisme yang konsisten dalam penulisan, tetaplah perlu adanya suatu
definisi. Agar mendapatkan suatu definisi tentang terorisme, perlu dikaji
berbagai definisi mengenai terorisme.
Definisi
pertama diberikan oleh Encyclopedia of Britanica sebagai berikut.
“Terrorism
is the systematic use of violence to create a general climate of fear in a
population and thereby to bring about a particular political objective.”
Terlihat
dari definisi tersebut, terorisme masih erat kaitannya dengan kondisi kekerasan
dalam hubungan politik. Selanjutnya definisi terorisme oleh United State Departement of Defense (Departemen
Pertahanan Amerika Serikat) yang menjelaskan:
“Calculated
use of unlawful violence to inculcate fear; intended to coerce or intimidate
governments or societies in pursuit of goals that are generally political,
religious, or ideological.
“
Definisi
yang diberikan Departemen Pertahanan Amerika Serikat meskipun masih menekankan
tindakan terorisme pada motifnya, cakupan motif terorisme dalam definisi ini
lebih luas yaitu tidak hanya aspek politik tetapi juga termasuk aspek keagamaan
dan ideologi. Terkait penggunaan teror dalam kepentingan politik, maka teror
menjadi salah satu bentuk apresiasi kepentingan politik yang paling serius
untuk menekan lawan politik dengan memanfaatkan kelemahan negara menjalankan
fungsi kontrolnya. Kondisi kevakuman kekuasaan (vacum of power) yang
menjadi tujuan akhirnya.
Definisi
berikutnya yang didapat dari Kamus hukum Black’s Law yang juga
mendefinisikan terrorism dalam kaitannya dengan politik yaitu “The
use or threat of violance to intimidate or cause panic, esp. as a means of affecting political conduct, akan
tetapi jika merujuk pada definisi terroristic threat terlihat kalau
pendefinisian terorisme dalam Black’s Law yang mengacu pada Model
Penal Code § 211, tidak hanya terpaku pada motif melainkan juga proses
serta tujuan dari terorisme tersebut. Hal ini terlihat dalam definisi berikut.
“Terroristic
threat is a threat to commit any crime of violence with the purpose of (1)
terrorizing another, (2) causing serious public inconvenience, or (4) reclessly
disregarding the risk of causing such terror or inconvenience. “
Secara
bebas, definisi tersebut dapat diartikan suatu ancaman teror untuk melakukan
kejahatan dan kekerasan dengan tujuan meneror orang lain, menimbulkan
ketidaknyamanan atau gangguan terhadap publik, dengan mengabaikan akibat yang
timbul dari teror tersebut. Dilihat dari tujuannya yaitu menimbulkan gangguan
terhadap publik, terdapat kesamaan antara kejahatan biasa, peperangan, dan terorisme,
tetapi sesungguhnya terdapat parameter perbedaan antara terorisme, peperangan (war)
dan nuansa kriminal biasa (ordinary crime).
Para ahli selain memberikan definisi tentang pengertian terorisme
juga memberikan kategorisasi tindakan terorisme untuk mempermudah pemahaman
terhadap pengertian terorisme. Seorang ahli bernama Jack Gibbs menyatakan,
suatu tindakan dapat didefinisikan sebagai terorisme apabila merupakan suatu
kejahatan atau suatu ancaman secara langsung terhadap kemanusiaan atau terhadap
objek tertentu. Namun, hal tersebut menurut Gibbs masih merupakan definisi yang
umum, artinya cakupan dari definisi tersebut masih terlalu luas dan masih
mencakup juga definisi dari kejahatan biasa.
Untuk mempermudah pemahaman terhadap definisi terorisme, Gibbs
menambahkan beberapa ciri perbuatan yang merupakan terorisme dengan merujuk
pada:
1. perbuatan yang dilaksanakan atau
ditujukan dengan maksud untuk mengubah atau mempertahankan paling sedikit suatu
norma dalam suatu wilayah atau suatu populasi;
2.
memiliki
kerahasiaan, tersembunyi tentang keberadaan para partisipan, identitas anggota,
dan tempat persembunyian;
3.
tidak
bersifat menetap pada suatu area tertentu;
4.
bukan
merupakan tindakan peperangan biasa karena mereka menyembunyikan identitas
mereka, lokasi penyerangan, berikut ancaman dan pergerakan mereka; serta
5. adanya partispan yang memiliki
pemikiran atau ideologi yang sejalan sejalan dengan konseptor teror, dan
pemberian kontribusi untuk memperjuangkan norma yang dianggap benar oleh
kelompok tersebut tanpa memperhitungkan kerusakan atau akibat yang ditimbulkan.
Berdasarkan
ciri tersebut, suatu peristiwa dapat dirumuskan menjadi suatu deskripsi tentang
terorisme yang paling mendekati nilai objektifitas. Disamping hal tersebut,
untuk itu terorisme perlu pula dipandang dari dua pendekatan, yaitu pendekatan
secara spesifik dan pendekatan secara umum. Pendekatan spesifik
mengklasifikasikan kejahatan biasa yang telah ada sebagai terorisme, contohnya
adalah mengklasifikasikan sebuah pembajakan pesawat atau penyanderaan yang
semula sebagai kejahatan biasa menjadi terorisme. Pendekatan ini dibuat tanpa
perlu mendefinisikan atau menguraikan secara umum tindakan terorisme per seorangan.
Dengan kata lain, dalam definisi ini peristiwa umum dijadikan hal khusus,
sehingga pendekatan ini sering juga disebut sebagai pendekatan induktif.
Sementara itu, pendekatan secara umum berusaha memberikan
penjelasan umum mengenai terorisme, berdasarkan suatu kriteria seperti intensi,
motivasi dan tujuan. Pendekatan ini merupakan upaya penjabaran peristiwa khusus
terorisme kedalam peristiwa umum (metode deduktif).
Dalam
prakteknya, pendekatan ini bisa digunakan kedua-duanya, atau dikombinasikan.
Dalam sub-bab selanjutnya akan dijelaskan dan diberikan contoh mengenai
penggunaan pendekatan definisi terorisime dibeberapa negara, termasuk di
Indonesia.
Karakteristik
Organisasi Terorisme
Apabila upaya untuk memberikan defini terhadap terorisme merupakan
hal yang sulit, maka upaya untuk mencari karakteristik, pola operasi, dan sitem
organisasi terorisme memiliki tingkat kesulitan yang sama. Hal ini dipengaruhi
sifat dan kegiatan terorisme yang selalu berubah dari masa ke masa. Meskipun
demikan, secara umum karakteristik dari organisasi terorisme, dapat dijabarkan
sebagai berikut.
(1) Nonstate-suported group. Organisasi teroris semacam ini
merupakan organisasi terorisme yang paling sederhana. Organisasi ini tidak
didukung oleh salah satu negara. Organisasi terorisme yang memiliki karakter nonstate-supported
group ini adalah kelompok kecil yang memiliki kepentingan khusus, seperti
kelompok antikorupsi, kelompok anti globalisasi, dan lainnya. Hanya saja dalam
menjalankan aksi “anti”-nya, kelompok ini menggunakan cara teror seperti
pembakaran, penjarahan, dan penyanderaan. Terlihat dari isu terornya,
organisasi ini merupakan organisasi teror yang menekankan pada aspek perjuangan
ideologi dengan menciptakan kekacuan ideologi (ideology disorder) dalam
tatanan masyarakat. Kelompok organisasi teroris dalam kategori ini, memiliki
kemampuan terbatas dan tidak dilengkapi dengan infrastruktur yang diperlukan
untuk memberikan dukungan, atau kontribusi lain demi kelangsungan kelompoknya
dalam periode waktu tertentu.
(2) State-sponsored groups. Organisasi terorisme jenis ini
memperoleh dukungan baik berupa dukungan logistik, pelatihan militer, maupun
dukungan administratif dari negara asing. Berbeda dengan jenis yang pertama,
kelompok ini bersifat profesional, artinya memiliki struktur organisasi yang
jelas meskipun bersifat rahasia atau tertutup (clandestine). Selain itu
cara yang digunakan dalam melakukan teror lebih terorganisir dan terencana.
Contoh kelompok teroris yang termasuk dalam kategori ini antara lain, Provisional
Irish Republican Army (PIRA) yang dibentuk pada 1970, dengan jumlah anggota
dua ratus hingga empat ratus yang memiliki daerah operasi di Irlandia Utara.
PIRA merupakan kelompok teroris yang bertanggung jawab atas pembunuhan Rev.
Robert Bradford, anggota Parlemen Inggris di Belfast dan juga pada peristiwa
peledakan bom dipintu belakang Royal Courts. Kelompok ini mendapatkan sponsor
dari Libya berupa pasokan senjata, tempat pelatihan, dan logistik dalam
menjalankan aksinya. Contoh teraktual dari kelompok dalam kategori ini adalah
kelompok teroris yang diberi nama Jamaah Islamiah yang diduga memiliki hubungan
erat dengan kelompok Al-Qaeda dan bertanggung jawab atas peledakan bom di Bali
tanggal 12 Oktober 2002 yang menewaskan kurang lebih dua ratus orang.
(3) State-directed groups. Organisasi kelompok teroris ini berupa
organisasi yang didukung langsung oleh suatu negara. Berbeda dengan state-sponsored
groups, negara memberikan dukungannya secara terang-terangan, bahkan negara
tersebut yang membentuk organisasi teroris tersebut, meskipun negara tersebut
tidak pernah mengklaim organisasi bentukannya merupakan organisasi teror.
Contoh dari organisasi ini adalah organisasi special force yang dibentuk
Iran pada 1984, untuk tujuan penyebaran paham Islam fundamentalis di wilayah
Teluk Persia dan Afrika Utara.