Langsung ke konten utama

Konsep Penetapan Tarif

Tarif adalah nilai suatu jasa pelayanan yang ditetapkan dengan ukuran sejumlah uang berdasarkan pertimbangan bahwa dengan nilai uang tersebut sebuah rumah sakit atau puskesmas bersedia memberikan jasa kepada pasien (Trisnantoro, 2004). 

Pada sarana pelayanan swasta, rumah sakit swata misalnya, tarif merupakan aspek yang sangat diperhatikan. Bagi sarana pelayanan pemerintah (rumah sakit dan puskesmas), tarif memang ditetapkan berdasarkan surat keputusan Menkes atau pemerintah daerah. Hal ini menunjukkan adanya kontrol ketat pemerintah sebagai pemilik. Akan tetapi disadari bahwa tarif pemerintah umumnya mempunyai CRR yang rendah (Trisnantoro, 2004). 

Dalam ekonomi mikro, ada yang dikenal dengan titik keseimbangan, yaitu harga berada pada “equilibrium” (BEP) dimana pada titik tersebut terjadi pertemuan antara demand dan supply. Pada sistem ekonomi yang berbasis pada keseimbangan pasar, jelas bahwa subsidi pemerintah tidak dilakukan atau terbatas pada masyarakat miskin. Akibatnya, tarif dibiarkan sesuai dengan permintaan pasar. Akan tetapi, hal ini dapat menyebabkan terjadinya ketidakadilan yaitu masyarakat miskin sulit mendapatkan pelayanan kesehatan sehingga subsidi perlu diberikan karena keadaan ini sangat penting pada proses penetapan tarif sarana pelayanan kesehatan pemerintah. (Trisnantoro, 2004)

Penetapan besaran tarif secara umum menurut (Gani, 1997), perlu mempertimbangkan beberapa faktor yaitu : biaya satuan, jenis pelayanan dan tingkatan pemanfaatan, tingkat kemampuan masyarakat, tarif pesaing, subsidi silang dan rencana penerimaan.

Tujuan Penetapan Tarif 

Pada sarana pelayanan kesehatan (rumah sakit dan puskesmas) baik milik pemerintah maupun milik swasta, penanganan penetapan tarif dan tujuan penetapan tarif sangat dipengaruhi oleh pemiliknya. Dalam kaitan dengan misi sosial, penetapan tarif dapat menunjukan misinya. Berikut penetapan tarif yang dibedakan dengan berbagai tujuan, antara lain :
  • Pemulihan Biaya (CRR). Tarif, dapat ditetapkan untuk meningkatkan CRR puskesmas. Keadaan ini terutama terdapat pada sarana pelayanan kesehatan pemerintah (puskesmas dan rumah sakit) yang semakin lama semakin berkurang subsidinya. Karena itu kebijakan swadana  sangat berkaitan dengan penetapan tarif yang dihubungkan dengan CRR
  • Subsidi Silang. Dengan konsep subsidi silang ini, maka puskesmas membutuhkan dana yang cukup untuk dapat menjalankan kegiatan pelayanannya, baik kuratif, preventif, promotif maupun rehabilitatif. Karena keterbatasan anggaran yang diperoleh dari pemerintah, maka tambahan dana sangat diperlukan. Disamping itu, kegiatan puskesmas tidak saja mencakup kegiatan kuratif (pelayanan pengobatan) saja, tetapi juga berbagai kegiatan lapangan yang membutuhkan dana cukup besar, apalagi pada daerah-daerah yang terpencil (remote area). Ada pendapat yang mengatakan bahwa beberapa pasien membayar masih dibawah kemampuan sesungguhnya untuk membayar (Costumer surplus), namun dilain pihak masih ada beberapa golongan masyarakat yang belum sempat memanfaatkan pelayanan kesehatan akibat ketidak mampuannya untuk membayar. Keadaan ini harus diperhitungkan agar terjadi pemerataan dalam pelayanan kesehatan. Pendapatan yang cukup dari penjualan (tarif) akan dapat menutupi biaya kegiatan pelayanan di puskesmas dan melalui mekanisme ini diharapkan terjadi subsidi silang (cross subsidi). 


Pendapatan dari pasien kuratif (pengobatan) misalnya, akan membantu pembiayaan kegiatan program promotif dan prefentif, demikian pula pendapatan dari pasien yang relatif lebih mampu  akan membantu puskesmas dalam melaksanakan kegiatan program lainnya seperti kegiatan program di lapangan yang diharapkan dapat menyentuh kelompok tidak mampu atau kelompok  yang tidak terjangkau dalam pelayanan (daerah–daerah terpencil). Kesadaran yang kurang dari masyarakat akan pentingnya pelayanan kesehatan seringkali menyebabkan mereka  enggan mengunjungi puskesmas, sehingga petugas  puskesmas harus lebih proaktif melaksanakan kegiatan/program kesehatan di masyarakat.

Peningkatan Revenue/Pendapatan Puskesmas 

Sumber utama dana puskesmas adalah anggaran yang berasal dari pemerintah. Dana yang diperoleh seringkali tidak mencukupi untuk pelaksanaan kegiatan-kegiatan operasional puskesmas. Salah satu alternatif untuk mendapatkan income tambahan, puskesmas dapat mempertimbangkan penyesuaian tarif yang tentu saja harus memperhatikan berbagai faktor penting sehingga tidak terjadi implikasi buruk. Beberapa puskesmas misalnya melakukan perbedaan tarif yang diberlakukannya, seperti tarif pelayanan tanpa obat dan tarif  pelayanan dengan obat untuk mendapatkan tambahan income. Puskesmas lain mungkin dapat melakukan upaya-upaya peningkatan kualitas dengan target peningkatan pendapatan melalui penyesuaian tarif.

Optimalisasi Pelayanan 

Keterbatasan dana sering disebut sebagai penyebeb rendahnya mutu pelayanan puskesmas. Dengan anggaran seadanya, petugas puskesmas dituntut dapat memberikan pelayanan yang demikian banyak dan bervariasi, baik di dalam gedung maupun di luar gedung puskesmas. Rendahnya mutu pelayanan tersebut sering dikaitkan dengan keterbatasan jumlah dan jenis obat yang tersedia di puskesmas, keterbatasan tenaga, beban kerja yang tinggi, dan keterbatasan sarana-prasarana lainnya.

Mekanisme penyesuaian tarif akan dapat membantu meningkatkan pendapatan puskesmas untuk membiayai pelayanan yang berkualitas. Demikian pula dengan dana yang cukup diharapkan berbagai kegiatan puskesmas dapat terlaksana dengan baik. Penyesuaian tarif tidak dimaksudkan untuk mencari laba yang sebesar-besarnya karena puskesmas adalah milik masyarakat, yang merupakan sarana terdepan bagi masyarakat untuk mencari pelayanan kesehatan, tetapi lebih ditujukan kepada bagaimana melihat potensi peningkatan revenue puskesmas untuk mengelola berbagai programnya yang kebutuhan biaya operasional dan pemeliharaannya semakin meningkat. 

Dengan penetapan tarif yang optimal atau rasional, maksimalisasi output  dapat dicapai karena tarif yang terjangkau oleh kemampuan dan kemauan membayar masyarakat akan meningkatkan utilisasi. Namun dilain pihak dapat pula dicapai minimalisasi output karena tarif yang tidak gratis dan tidak terkesan murah akan menahan penggunaan pelayanan yang perlu dikonsumsi masyarakat atau ketergantungan pada pelayanan kesehatan, menggalakan program preventif-promotif. Dengan demikian tujuan optimalisasi pelayanan diharapkan dapat tercapai melalui penetapan tarif yang sesuai (tarif optimal).       

Cost Recovery 

Biaya untuk memproduksi pelayanan kesehatan yang ditawarkan layaknya dapat ditutupi oleh pendapatannya (revenue),  hal ini dapat terjadi apabila TC =  TR. Apabila hal ini terjadi, maka akan memberikan gambaran bahwa CRR adalah 100%, sedangkan besarnya kelebihan TR diatas TC menggambarkan besarnya Laba. Kenyataan yang terjadi dewasa ini adalah besarnya pendapatan puskesmas atas hasil penjualan prodiksinya  selalu berada di bawah biaya produksinya (TR < TC). Harga karcis di puskesmas (tarif) seringkali jauh di bawah biaya satuan pelayanannya, dan ini dapat diartikan bahwa subsidi puskesmas cukup besar, padahal dilain pihak sumber biaya pelayanan di puskesmas sendiri sangat tergantung pada pemerintah, sedangkan anggaran pemerintah sendiri sangat terbatas. CRR yang kurang memadai semacam ini dapat menyebabkan terganggunya kelancaran kegiatan di puskesmas, terlambatnya pencapaian pelayanan serta produktifitas yang rendah. Melalui mekanisme penyesuaian tarif diharapkan ketergantungan terhadap anggaran pemerintah akan semakin berkurang, sehingga pelaksanaan kegiatan program serta peningkatan kualitas pelayanan di puskesmas dapat terwujud

Tarif Optimal

Pada tingkat mikro, hubungan antara total cost, total revenue dan output pelayanan dapat menentukan tarif optimal, dimana tarif optimal adalah tarif yang berusaha untuk melayani consumer surplus, tetapi tetap mempertahankan pemerataan pelayanan kesehatan di puskesmas. Total cost adalah jumlah fixed cost  dan variable cost. Sedangkan total revenue adalah jumlah quantity dikalikan dengan price. 

Khusus dalam hal penetapan tarif yang sudah berjalan, asumsinya adalah quantity/output sudah tetap. Puskesmas tidak dapat dengan mudah menentukan berapa jumlah pasien yang harus datang ke puskesmas tersebut. Selanjutnya total cost adalah variable yang dapat diperkirakan, dengan demikian dapat ditelaah berbagai kemungkinan tentang tarif, sehingga apabila kita mengkaji hubungan antara TC dan TR atas beberapa kemungkinan tarif, hasilnya bisa terjadi apakah TC lebih besar dari TR atau sebaliknya. 

Ada dua kemungkinan yang terjadi dengan total cost yaitu mendapat subsidi dan tidak mendapat subsidi. Berikut ini akan diuraikan kemungkinan price dalam dua kondisi keadaan tersebut


Puskesmas dengan subsidi 

Dalam keadaan ini ada dua kebijakan tarif yaitu tarif untuk mencapai titik impas (BEP) dan tarif untuk mencapai keuntungan yang sudah ditetapkan. Tarif pada titik BEP dengan subsidi, akan sangat tergantung pada besarnya subsidi tersebut. Kalau seluruh TC di subsidi maka BEP sudah  dicapai  pada  P  =  0, tapi dalam kenyataan subsidi yang diperoleh biasanya terbatas. Misalkan semua biaya investasi di subsidi, keadaan BEP dicapai pada (UVC x Q)  =  (Q x P) atau  P  =  UVC.

UVC dalam hal ini adalah unit cost setelah komponen biaya investasi dikurangi. Jadi tarif yang diberlakukan sama dengan unit cost yang terdiri dari komponen gaji/upah, obat, bahan makanan, pemeliharaan, air, listrik, telpon dan biaya operasional lainnya.

Kemungkinan lain, karena pada dasarnya gaji atau upah adalah SVC maka price akan sama dengan unit cost dikurangi UFC dan juga dikurangi biaya gaji/upah. Oleh karena penambahan dan pengurangan jumlah pasien dalam skala kecil tidak mempengaruhi jumlah FC dan gaji/upah, maka sebetulnya unit cost tanpa FC dan gaji/upah adalah  sama dengan biaya marginal (marginal cost  = MC). MC adalah besarnya biaya tambahan yang diperlukan untuk menaikan produksi sebesar 1 unit. Dengan perkataan lain dalam kemungkinan ini P  =  MC.

Nampaknya kebijakan tarif yang terakhir ini relevan untuk puskesmas yang mendapatkan subsidi dari pemerintah yang diharapkan dapat beroperasi secara mandiri dalam kebijaksanaan ini, pemerintah melalui puskesmas menjalankan fungsi sosialnya melalui subsidi investasi dan gaji/upah. Perluasan gedung dan renovasi gedung dan pembelian alat baru di tanggung oleh pemerintah.   

Pada berbagai sektor termasuk kesehatan, pemerintah masih merasa mempunyai kewajiban untuk mengatur tarif. Kewajiban ini ditujukan untuk menjamin terjadinya pemerataan pelayanan kesehatan baik di puskesmas maupun di rumah sakit. Untuk itu pemerintah merasa perlu bahwa berbagai komponen biaya penyelenggaraan pelayanan kesehatan baik di rumah sakit maupun di puskesmas tetap mendapat subsidi, misalnya gaji/upah, investasi dan penelitian pengembangannya.

Postingan populer dari blog ini

Kelebihan dan Kekurangan Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD

Pembelajaran kooperatif tipe STAD mempunyai beberapa keuntungan dan kelamahan. Kuswadi (2004:37)menyebutkan beberapa keuntungan dan kelemahan dari  pembelajaran kooperatif  tipe STAD. Beberapa keuntungannya antara lain: Setiap anggota kelompok mendapat tugas Adanya interaksi langsung antar siswa dalam kelompok Melatih siswa mengembangkan keterampilan sosial (social skill) Membiasakan siswa menghargai pendapat orang lain Meningkatkan kemampuan siswa dalam berbicara dan berbuat, sehingga kemampuan akademiknya meningkat Memberi peluang kepada siswa untuk berani bertanya dan mengutarakan pendapat Memfasilitasi terwujudnya rasa persaudaraan dan kesetiakawanan Terlaksananya pembelajaan yang berpusat pada siswa, sehingga waktu yang tersedia hampir seluruhnya digunakan oleh siswa untuk kegiatan pembelajaran Memberi peluang munculnya sikap-sikap positif siswa Adapaun beberapa kelemahan dari pembelajaran kooperatif tipe STAD adalah: Dalam pelaksanaan di kelas, membutu...

Prinsip utama pembelajaran menurut Teori Vygotsky

Menurut Slavin (dalam Murdiana, 2002: 21-22) Teori Vygotsky menekankan pada empat prinsip utama dalam pembelajaran, yaitu:  (1) the sociocultural nature of learning, (2) zone of proximal development, (3) cognitive apprenticeship, dan (4) scaffolding. Prinsip pertama the sociocultural nature of learning menurut Vygotsky menekankan pada pentingnya peran orang dewasa atau teman sebaya yang lebih mampu dalam belajar. Vygotsky menyarankan untuk menggunakan kelompok-kelompok belajar dengan kemampuan anggota kelompok yang berbeda-beda untuk mengupayakan perubahan konseptual. Penggunaan prinsip sosiokultural dalam pembelajaran kooperatif terlihat pada tahap kegiatan kelompok(fase-3 dan pelaksanaannya dapat dilihat pada rencana pembelajaran. Pada tahap kegiatan kelompok akan terjadi interaksi sosiokultural antar anggota kelompok yang berbeda dalam kemampuan akademis, latar belakang sosial budaya, dan tingkat emosional Prinsip kedua zone of proximal development menurut Vygotsky adal...

8 Dimensi kualitas pelayanan

Ada 8 (delapan) dimensi kualitas yang dikembangkan Garvin (dalam Lovelock; Peppard dan Rowland, 1995) seperti dikutip Fandy Tjiptono (1996 : 68) dan dapat digunakan sebagai kerangka perencanaan strategis dan analisis. Dimensi-dimensi tersebut adalah : Kinerja (performance), karakteristik pokok dari produk inti. Ciri-ciri atau keistimewaan tambahan (features), yaitu karakteristik sekunder atau pelengkap. Kehandalan (realibility), yaitu kemungkinan kecil akan mengalami kerusakan atau gagal dipakai. Kesesuaian dengan spesifikasi (conformance to specifications), yaitu sejauh mana karakteristik desain dan operasi memenuhi standard-standard yang telah ditetapkan sebelumnya. Daya tahan (durability), berkaitan dengan berapa lama produk tersebut dapat terus digunakan. Serviceability, meliputi kecepatan, kompetensi, kenyamanan, mudah diperbaiki, penanganan keluhan yang memuaskan. Estetika (aesthetics), yaitu daya tarik produk terhadap panca indra. Kualitas yang dipersepsikan (perceive...