Dalam pembelajaran terdapat interaksi/hubungan timbal-balik, baik antara guru–murid maupun murid–murid dan dengan lingkungan belajar. Dalam pembelajaran guru bertanggung jawab untuk mengkondisikan lingkungan belajar sehingga siswa dapat belajar. Winkel (1989: 36) mendefiniskan belajar adalah suatu aktivitas mental/psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, keterampilan dan nilai sikap. Dengan demikian aktivitas mental ini tergantung pada interaksi siswa dengan lingkungannya. Dengan menyadari ini maka seorang guru harus dapat mengkondisikan lingkungan belajar sehingga siswa diijinkan untuk berinteraksi dengan lingkungan itu.
Salah satu karakteristik matematika adalah objeknya yang bersifat abstrak. Namun di sekolah dimungkinkan untuk mendekati objek abstrak ini melalui hal-hal yang konkrit. Soedjadi (2003:80) menuliskan bahwa,
“Matematika sekolah adalah bagian dari matematika yang dipilih antara lain atas dasar kebutuhan pendidikan dan perkembangan IPTEK…. matematika sekolah tidak terlepas dari karakteristik matematika tetapi boleh dan perlu menggunakan: (1) materi yang konkrit, (2) pola pikir induktif, (3) simbol-simbol yang memiliki arti tertentu sesuai jenjang, (4) kesepakatan dan semesta tertentu saja, (5) kebenaran konsistensi terbatas.”
Menurut pendapat di atas ada penekanan pada perlunya penggunaan objek yang konkrit untuk mendekati objek matematika yang abstrak. Jadi dapat dikatakan bahwa dalam pembelajaran matematika aktivitas mental yang diuraikan sebelumnya itu berlangsung dalam interaksi aktif siswa dengan lingkungannya (sebagai hal yang konkrit).
Hal ini sesuai dengan pandangan konstruktivis yang menyatakan bahwa pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru ke pikiran siswa. Artinya, bahwa siswa harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya. Dengan kata lain, siswa tidak dipandang sebagai gelas kosong yang siap diisi dengan berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan kehendak guru.
Piaget (dalam Dahar, 1988:182) menyebutkan bahwa perkembangan intelektual merupakan suatu konstruksi dari satu sisi struktur struktur mental. Setiap struktur baru didasarkan pada kemampuan kemampuan tertentu sebelumnya, tetapi pada saat yang sama melibatkan hasil hasil pengalaman. Proses belajar siswa merupakan peralihan dari kondisi tidak seimbang menjadi seimbang. Tidak seimbang berarti ada perbedaan antara skema yang dimiliki siswa dengan situasi atau informasi baru yang dihadapinya. Dengan demikian dalam proses belajar siswa dapat dikatakan memahami hal yang sedang dipelajari jika terjadi keseimbangan dalam struktur (skema) yang dimiliki siswa. Sementara keseimbangan terjadi melalui proses asimilasi dan proses akomodasi. Dahar, (1988:181) menyebutkan dalam proses asimilasi seseorang menggunakan struktur atau kemampuan yang sudah ada untuk menanggapi masalah yang dihadapinya dalam lingkungannya. Dengan demikian, asimilasi merupakan proses penyerapan (absorbtion) informasi baru kedalam struktur mental (skema-skema) yang telah dimiliki seseorang. Penyerapan dalam hal ini bukan asosiasi stimulus lingkungan dan respons tetapi proses penyaringan terhadap stimulus lingkungan melalui struktur tindakan, sehingga memperkaya struktur yang ada. Selanjutnya dikatakan dalam proses akomodasi seseorang memerlukan modifikasi struktur-struktur mental yang ada dalam mengadakan respon terhadap tantangan lingkungannya. Akomodasi adalah proses penyusunan kembali (restructuring) struktur mental yang ada sehingga cocok dengan struktur informasi baru dan proses penyerapan informasi baru kedalam struktur mental yang baru terbentuk. Jika keseimbangan telah terjadi maka seorang individu berada pada tingkat perkembangan intelektual yang lebih tinggi dari tingkat sebelumnya (sebelum terjadi keseimbangan).
Dari uraian di atas, dapat dilihat bahwa siswa belajar akibat interaksi aktif dengan lingkungan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika adalah suatu proses yang di dalamnya lingkungan siswa dikelola sedemikian rupa sehingga siswa belajar matematika. Dalam hal ini siswa belajar matematika berarti dalam diri siswa berlangsung aktivitas mental/psikis dalam interaksi aktif dengan lingkungan tersebut, sehingga dalam diri siswa dihasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, keterampilan dan nilai berkenaan dengan bagian matematika yang termuat dalam matematika sekolah. Dalam hal ini ditekankan aktivitas yang berlangsung secara interaktif antara faktor intern pada diri siswa dengan faktor ekstern atau lingkungan, sehingga melahirkan perubahan dalam diri siswa. Dengan demikian dalam pembelajaran matematika diperlukan keahlian guru dalam usaha menciptakan kondisi pembelajaran yang dimulai dari isu-isu yang relevan dengan lingkungan anak.