Langsung ke konten utama

Gagasan Gus Dur dalam Komunikasi politik

Pada dasarnya, gagasan besar Abdurrahman Wahid ldalam komunikasi politik lebih diletakkan pada upaya membangun pemikiran liberal mengenai agama, negara dan masyarakat. Gagasan-gagasan liberal terhadap persoalan tersebut merupakan konsekuensi logis dipilihnya paradigma liberal dalam memberikan penafsirannya atas wacana-wacana yang berkembang dalam masyarakat.

Dalam merespon derasnya arus modernitas, Abdurrahman Wahid lebih banyak bersikap positif dan fleksibel. Bagi Abdurrahman Wahid, watak pluralistik dan multi-kommunal masyarakat Indonesia modern harus dihormati dan dipertahankan dari kecenderungan-kecenderungan sektarianistik. Fakta pada hampir semua realitas kekerasan yang terjadi di negeri ini lebih menonjolkan dimensi sektarian yang anti pluralitas. 

Salah satu yang menonjol dari pemikiran Abdurrahman Wahid adalah kemampuannya untuk mengombinasikan apa yang terbaik di dalam nilai-nilai modernitas dan komitmennya terhadap rasionalitas dan keulamaan maupun kebudayaan tradisional.

Liberalisasi pemikiran Abdurrahman Wahid dapat terlihat secara jelas dalam berbagai bentuk gagasan besarnya, yang dianggap oleh banyak pengamat keluar dari jalur kelaziman, utamanya dari logika arus mainstream yang berkembang pada zamannya. Tidak berlebihan bila Hakim (1993:86) mengatakan bahwa cara untuk memahami pemikiran Abdurrahman Wahid adalah dengan tiga kata kunci, yaitu liberalisme, demokrasi dan universalisme. 

a. Universalitas  Nilai-Nilai kemanusiaan

Salah satu pemikiran Abdurrahman Wahid yang (paling) menonjol adalah komitmennya untuk mengeluarkan gagasan tentang perlunya ditegakkan kemanusiaan dalam masyarakat. Hal ini sebenarnya tampak dalam kesukannya pada musik, utamanya pada musik yang berisikan nilai-nilai perdamaian dan persaudaraan manusia. 

Terlepas dari kegemaran tersebut, pandangan Abdurrahman Wahid tentang nilai kemanusiaan adalah penting untuk dikedepankan. Dalam keseluruhan konstelasi pemikiran Abdurrahman Wahid, pandangan tentang nilai ini telah menjadi titik tolak dalam menelusuri alur atau paradigma pemikirannya. Baginya, penghayatan atas nilai-nilai kemanusiaan adalah inti dari ajaran agama. Tanpa nilai-nilai tersebut, dunia hanya dipenuhi oleh berbagai bentuk kekerasan dan konflik sosial.   

b. Makna Keadilan dalam Pluralitas  Masyarakat

Abdurrahman Wahid, di samping terkenal dengan konsep humanisme universalnya, ia juga berusaha untuk mengedepankan nilai-nilai keadilan sosial di tengah masyarakat plural. Keadilan harus ditegakkan tanpa memandang etnisitas dan agama. Prinsip ini seolah sebagai kelanjutan dari visi humanisme yang dikembangkannya yang bersifat universal tanpa memandang sekat-sekat agama. 


Abdurrahman Wahid sangat menginginkan dijunjung tingginya nilai dasar dalam membangun masyarakat, yaitu keadilan, persamaan dan demokrasi. Upaya menjunjung tinggi dasar tersebut adalah meninggalkan formalisasi agama di tengah-tengah masyarakat plural, sebagaimana yang terjadi di indonesia. Baginya, masyarakat seharusnya dirangsang untuk tidak terlalu memikirkan manifestasi simbolik dari agama dalam kehidupan, akan tetapi lebih mementingkan esensinya. Keadilan, baginya, adalah milik semua agama, dan harus ditegakkan oleh umat beragama. 

c. Makna Kebudayaan dalam Pluralitas Masyarakat

Persoalan lain yang menjadi perhatian utama dalam pemikiran Gus Dur adalah perihal hubungan agama dan kebudayaan. Sebagaimana hubungan agama dan negara yang masih problematik, bagi Gus Dur dalam konteks ke-Indonesia-an, hubungan antara agama, negara, dan kebudayaan ternyata masih juga memunculkan masalah serius.

Pemikiran tentang relasi agama, negara dan kebudayaan merupakan salah satu perhatian utama pemikiran dan aksi politik Gus Dur, yang sama besarnya dengan persoalan lain. Berbagai problem kebudayaan yang seringkali hadir dalam realitas masyarakat selalu membuatnya gelisah, apalagi ketika problem tersebut dibenturkan dengan keyakinan agama serta diletakkan dalam rangka uniformitas kebudayaan.

Gus Dur memiliki suatu pandangan bahwa kebudayaan sebuah bangsa pada hakikatnya adalah kenyataan yang majemuk dan pluralistik. Penyeragaman atau sentralisasi kebudayaan (sebagaiman yang telah dipraktekkan oleh negara) merupakan suatu tindakan yang dianggapnya tidak berbudaya (Santoso :2004:118). Karenanya, sebuah entitas budaya yang berlingkup lebih luas, seperti kebudayaan sebuah bangsa, haruslah memiliki wajah pluralitas dan menghargai kemajemukan. Gagasannya terhadap persoalan ini adalah perlunya dikembangkan sebuah kebijaksanaan pengembangan desentralisasi kebudayaan.

d. Progresivitas Pemikiran Ke-Islam-an

Pada dasarnya pemikiran liberal dan liberalisasi pemikiran Gus Dur sudah diteliti, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Greg Barton adalah orang yang mungkin pertama kali melakukan penelitian atas pemikiran liberal Gus Dur, yang kemudian dituangkan dalam bukunya yang monumental ”the Emergence of Neo-modernisme A progressive, Liberal Movement of Islamic thought in Indonensia”. Greg Barton mengemukakan beberapa aspek liberal dalam pemikiran Gus Dur (Santoso :2004:124), baik yang menyangkut tentang kekuatan Islam Tradisional dan sistem pemerintahan, keberaniannya dalam mengatakan kelemahan Islam Tradisional di Indonesia, unsur-unsur dinamisasi pesantren sebagai kekuatan untuk menanggapi lahirnya tantangan moderenitas, pluralisme, maupun persoalan tentang humanitarianisme.

Liberaliasme pemikiran Gus Dur disadari merupakan gaya pikir divergen, yang menjelajah keluar dari cara-cara berpikir konvensional (seperti lazimnya) (Santoso, 2004:124). Gagasan dalam pemikirannya memang cenderung melompat-lompat, sehingga ritmenya sering dipahami tidak beraturan. Tapi mainstream utama yang dibidik adalah agar pemahaman dan pengetahuan keagamaan dan sikap politik umat tidak stagnan. Setiap bentuk pengetahuan dan pemahaman harus bisa dilihat secara kritis sehingga dapat memunculkan kritis atas hal tersebut.

Menurut Mujamil Qomar dalam Santoso (2004:125) bahwa Gus Dur adalah orang yang sangat yakin atas kesempurnaan Islam, tapi ia berbeda dengan pandangan ulama pada umumnya yang mengira bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan kepentingan hidup sudah lengkap dibahas dalam Al-Quran.

Postingan populer dari blog ini

Kelebihan dan Kekurangan Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD

Pembelajaran kooperatif tipe STAD mempunyai beberapa keuntungan dan kelamahan. Kuswadi (2004:37)menyebutkan beberapa keuntungan dan kelemahan dari  pembelajaran kooperatif  tipe STAD. Beberapa keuntungannya antara lain: Setiap anggota kelompok mendapat tugas Adanya interaksi langsung antar siswa dalam kelompok Melatih siswa mengembangkan keterampilan sosial (social skill) Membiasakan siswa menghargai pendapat orang lain Meningkatkan kemampuan siswa dalam berbicara dan berbuat, sehingga kemampuan akademiknya meningkat Memberi peluang kepada siswa untuk berani bertanya dan mengutarakan pendapat Memfasilitasi terwujudnya rasa persaudaraan dan kesetiakawanan Terlaksananya pembelajaan yang berpusat pada siswa, sehingga waktu yang tersedia hampir seluruhnya digunakan oleh siswa untuk kegiatan pembelajaran Memberi peluang munculnya sikap-sikap positif siswa Adapaun beberapa kelemahan dari pembelajaran kooperatif tipe STAD adalah: Dalam pelaksanaan di kelas, membutu...

Prinsip utama pembelajaran menurut Teori Vygotsky

Menurut Slavin (dalam Murdiana, 2002: 21-22) Teori Vygotsky menekankan pada empat prinsip utama dalam pembelajaran, yaitu:  (1) the sociocultural nature of learning, (2) zone of proximal development, (3) cognitive apprenticeship, dan (4) scaffolding. Prinsip pertama the sociocultural nature of learning menurut Vygotsky menekankan pada pentingnya peran orang dewasa atau teman sebaya yang lebih mampu dalam belajar. Vygotsky menyarankan untuk menggunakan kelompok-kelompok belajar dengan kemampuan anggota kelompok yang berbeda-beda untuk mengupayakan perubahan konseptual. Penggunaan prinsip sosiokultural dalam pembelajaran kooperatif terlihat pada tahap kegiatan kelompok(fase-3 dan pelaksanaannya dapat dilihat pada rencana pembelajaran. Pada tahap kegiatan kelompok akan terjadi interaksi sosiokultural antar anggota kelompok yang berbeda dalam kemampuan akademis, latar belakang sosial budaya, dan tingkat emosional Prinsip kedua zone of proximal development menurut Vygotsky adal...

8 Dimensi kualitas pelayanan

Ada 8 (delapan) dimensi kualitas yang dikembangkan Garvin (dalam Lovelock; Peppard dan Rowland, 1995) seperti dikutip Fandy Tjiptono (1996 : 68) dan dapat digunakan sebagai kerangka perencanaan strategis dan analisis. Dimensi-dimensi tersebut adalah : Kinerja (performance), karakteristik pokok dari produk inti. Ciri-ciri atau keistimewaan tambahan (features), yaitu karakteristik sekunder atau pelengkap. Kehandalan (realibility), yaitu kemungkinan kecil akan mengalami kerusakan atau gagal dipakai. Kesesuaian dengan spesifikasi (conformance to specifications), yaitu sejauh mana karakteristik desain dan operasi memenuhi standard-standard yang telah ditetapkan sebelumnya. Daya tahan (durability), berkaitan dengan berapa lama produk tersebut dapat terus digunakan. Serviceability, meliputi kecepatan, kompetensi, kenyamanan, mudah diperbaiki, penanganan keluhan yang memuaskan. Estetika (aesthetics), yaitu daya tarik produk terhadap panca indra. Kualitas yang dipersepsikan (perceive...