Adapun yang dimaksud
dengan perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua
pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak
yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.
Pihak yang berhak
menuntut sesuatu, dinamakan kreditur atau si berpiutang, sedangkan pihak yang
berkewajiban memenuhi tuntutan dinamakan debitur atau si berhutang.
Perhubungan antara
dua orang atau dua pihak tadi adalah suatu perhubungan hukum yang berarti bahwa
hak si berpiutang itu dijamin oleh hukum atau undang-undang. Apabila tuntutan
itu tidak dipenuhi secara sukarela, si berpiutang dapat menuntutnya di depan
hakim.
Suatu perjanjian
adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana
dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa
ini, timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan
perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang
membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan
yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.
Dengan demikian
hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan
perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan, disampingnya sumber-sumber lain.
Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua pihak itu setuju untuk
melakukan sesuatu. Dapat dikatakan bahwa dua perkataan (perjanjian dan
persetujuan) itu adalah sama artinya. Perkataan kontrak, lebih sempit karena
ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yang tertulis.
Perjanjian merupakan
sumber terpenting yang melahirkan perikatan, memang perikatan itu paling banyak
diterbitkan oleh suatu perjanjian, tetapi sebagaimana sudah dikatakan tadi, ada
juga sumber-sumber lain yang melahirkan perikatan. Sumber-sumber lain ini
tercakup dengan nama undang-undang. Jadi ada perikatan yang lahir dari
"perjanjian" dan ada perikatan yang lahir dari "undang-undang".
Kesimpulan dari
pembicaraan kita di atas, bahwa perjanjian itu merupakan sumber perikatan yang
terpenting. Dari apa yang diterangkan disitu dapat dilihat bahwa perikatan
adalah suatu pengertian abstrak, sedangkan perjanjian adalah suatu hal yang
konkrit atau suatu peristiwa. Kita tidak dapat melihat dengan mata kepala kita
suatu perikatan. Kita hanya dapat membayangkannya dalam alam pikiran kita,
tetapi kita dapat melihat atau membaca suatu perjanjian ataupun mendengarkan
perkataan-perkataannya.
Perikatan yang lahir
dari perjanjian, memang dikehendaki oleh dua orang atau dua pihak yang membuat
suatu perjanjian, sedangkan perikatan yang lahir dari undang-undang diadakan
oleh undang-undang diluar kemauan para pihak yang bersangkutan. Apabila dua
orang mengadakan suatu perjanjian, maka mereka bermaksud supaya antara mereka
berlaku suatu perikatan hukum. Sungguh-sungguh mereka itu terikat satu sama
lain, karena janji yang telah mereka berikan. Tali perikatan ini barulah putus
kalau janji itu sudah dipenuhi.
Suatu perikatan
merupakan suatu hubungan hukum antara dua pihak, berdasarkan mana pihak yang
satu berhak menuntut sesuatu dari pihak yang lain, dan pihak yang lain
berkewajiban memenuhi tuntutan itu.
Apabila di
masing-masing pihak hanya ada satu orang, sedangkan sesuatu yang dapat dituntut
hanya berupa satu hal, dan penuntutan ini dapat dilakukan seketika, maka
perikatan ini merupakan bentuk yang paling sederhana. Perikatan dalam bentuk
yang paling sederhana ini dinamakan perikatan bersahaja atau perikatan murni.
Disamping bentuk yang
paling sederhana itu, hukum perdata mengenal pula berbagai macam perikatan
yaitu sebagai berikut :
Perikatan
bersyarat.
Suatu perikatan
adalah bersyarat apabila ia digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan
datang dan masih belum tentu akan terjadi, baik secara menangguhkan lahirnya
perikatan hingga terjadinya peristiwa semacam itu, maupun secara membatalkan
perikatan menurut terjadinya atau tidak terjadinya peristiwa tersebut.
Dalam hukum
perjanjian, pada asasnya suatu syarat batal selalu berlaku surut hingga saat
lahirnya perjanjian. Suatu syarat batal adalah suatu syarat yang apabila
terpenuhi, menghentikan perjanjiannya dan membawa segala sesuatu kembali pada
keadaan semula seolah-olah tidak pernah ada suatu perjanjian, demikianlah Pasal
1265 KUHPerdata.
Dengan demikian
syarat batal itu mewajibkan si berpiutang untuk mengembalikan apa yang telah
diterimanya, apabila peristiwa yang dimaksudkan itu terjadi.
Perikatan
dengan ketetapan waktu.
Berlainan dengan
suatu syarat, suatu ketetapan waktu (termijn) tidak menangguhkan lahirnya suatu
perjanjian atau perikatan, melainkan hanya menangguhkan pelaksanaannya atau pun
menentukan lama waktu berlakunya suatu perjanjian atau perikatan.
Suatu ketetapan waktu
selalu dianggap dibuat untuk kepentingan berutang, kecuali dari sifat
perikatannya sendiri atau dari keadaan ternyata bahwa ketetapan waktu itu telah
dibuat untuk kepentingan si berpiutang.
Apa yang harus
dibayar pada suatu waktu yang ditentukan, tidak dapat ditagih sebelum waktu itu
tiba, tetapi apa yang telah dibayar sebelum waktu itu datang, tidak dapat
diminta kembali.
Perikatan
mana suka (alternatif).
Dalam perikatan
semacam ini, si berutang dibebaskan jika ia menyerahkan salah satu dari dua
barang yang disebutkan dalam perjanjian, tetapi ia tidak boleh memaksa si
berpiutang untuk menerima sebagian dari barang yang satu dan sebagian barang
yang lainnya, hak memilih ada pada si berutang, jika hak ini tidak secara tegas
diberikan kepada berpiutang.
Perikatan
tanggung menanggung atau solider.
Dalam perikatan jenis
ini, disalah satu pihak terdapat beberapa orang. Dalam hal beberapa orang
terdapat dipihak debitur (dan ini yang paling lazim), maka tiap-tiap debitur
itu dapat dituntut untuk memenuhi seluruh hutang. Dalam hal beberapa terdapat
di pihak kreditur, maka tiap-tiap kreditur berhak menuntut pembayaran seluruh
utang.
Dengan sendirinya
pembayaran yang dilakukan oleh salah seorang debitur, membebaskan
debitur-debitur yang lainnya. Begitu pula pembayaran yang dilakukan kepada
salah seorang kreditur membebaskan si berutang terhadap kreditur-kreditur yang
lainnya.
Dalam hal si berutang
berhadapan dengan beberapa orang kreditur, maka terserah kepada si berutang,
untuk memilih kepada kreditur yang mana ia hendak membayar utangnya selama ia
belum digugat oleh salah satu.
Perikatan
yang dapat dibagi dan yang tak dapat dibagi.
Adalah sekedar
prestasinya dapat dibagi menurut imbangan, pembagian mana tidka boleh
mengurangi hakekat prestasi itu.
Soal dapat atau tidak
dapat dibaginya prestasi itu terbawa oleh sifat barang yang tersangkut
didalamnya, tetapi juga dapat disimpulkan dari maksudnya perikatan itu.
Dapat dibagi menurut
sifatnya, misalnya suatu perikatan untuk menyerahkan sejumlah barang atau
sejumlah hasil bumi. Sebaliknya tidak dapat dibagi kewajiban untuk menyerahkan
seekor kuda, karena kuda tidak dapat dibagi tanpa kehilangan hakekatnya.
Adalah mungkin bahwa
barang yang tersangkut dalam prestasi menurut sifatnya dapat dipecah-pecah,
tetapi menurut maksudnya perikatan tidak dapat dibagi, misalnya perikatan untuk
membuat suatu jalan raya antara dua tempat, menurut sifatnya dapat dibagi,
misalnya kalau jarak antara tempat tersebut 200 Km, adalah mungkin untuk
membagi pekerjaan yang telah diborong itu dalam dua bagian, masing-masing 100
Km. Tetapi menurut maksud perjanjian jelas pekerjaan tersebut harus dibuat
seluruhnya, jika tidak demikian tujuan pemborong itu tidak akan tercapai. Oleh
karena itu perikatan tadi adalah suatu perikatan yang tak dapat dibagi.
Perikatan
dengan ancaman hukuman.
Perikatan semacam ini
adalah suatu perikatan dimana ditentukan bahwa si berutang untuk jaminan
pelaksanaan perikatannya diwajibkan melakukan sesuatu apabila perikatannya
tidak dipenuhi. Penetapan hukuman ini dimaksudkan sebagai gantinya. Pengganti
kerugian yang diderita oleh si berpiutang karena tidak dipenuhinya atau
dilanggarnya perjanjian. Ia mempunyai dua maksud. Pertama; untuk mendorong atau
menjadi cambuk bagi si berutang supaya ia memenuhi kewajibannya. Kedua; untuk
membebaskan si berpiutang dari pembuktian tentang jumlahnya atau besarnya
kerugian yang dideritanya. Sebab berapa besarnya kerugian itu harus dibuktikan
oleh si berpiutang.
Dalam
perjanjian-perjanjian dengan ancaman hukuman atau denda ini lazimnya ditetapkan
hukuman yang sangat berat, kadang-kadang terlampau berat. Menurut pasal 1309,
hakim diberikan wewenang untuk mengurangi atau meringankan hukuman itu apabila
perjanjiannya telah sebagian dipenuhi. Dengan demikian, asal debitur sudah
mulai mengerjakan kewajibannya, hakim leluasa untuk meringankan hukuman,
apabila itu dianggapnya terlampau berat.
Dalam perikatan
dikenal dua macam sistem yaitu sebagai berikut: sistem terbuka dan azas
konsensualisme dalam hukum perjanjian. Dikatakan
bahwa hukum benda mempunyai suatu sistem tertutup, sedangkan hukum perjanjian
menganut sistem terbuka, artinya yang dimaksud dengan tertutup macam-macam hak
atas benda adalah terbatas dan peraturan-peraturan yang mengenai hak-hak atas
benda itu bersifat memaksa, sedangkan hukum perjanjian memberikan kebebasan
yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi
apa saja, asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Pasal-pasal
dari hukum perjanjian merupakan apa yang dinamakan hukum pelengkap (optional
law), yang berarti bahwa pasal-pasal itu boleh disingkirkan manakala
dikehendaki oleh pihak-pihak yang membuat suatu perjanjian. Mereka
diperbolehkan mengatur sendiri kepentingan mereka dalam perjanjian-perjanjian
yang mereka adakan itu. Memang tepat sekali nama hukum pelengkap itu, karena
benar-benar pasal-pasal dari hukum perjanjian itu dapat dikatakan melengkapi
perjanjian-perjanjian yang dibuat secara tidak lengkap.
Sistem terbuka yang
mengandung suatu asas kebebasan membuat perjanjian, dalam KUHPerdata lazimnya
disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat 1, yang berbunyi :
"Semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya".
Dengan menekankan
pada perkataan semua, maka pasal tersebut seolah-olah berisikan suatu
pernyataan kepada masyarakat bahwa diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa
dan berisi apa saja (atau tentang apa saja) dan perjanjian itu akan mengikat
mereka yang membuatnya seperti undang-undang.
Selanjutnya sistem
terbuka dari hukum perjanjian itu juga mengandung suatu pengertian, bahwa
perjanjian-perjanjian khusus yang diatur dalam undang-undang hanyalah merupakan
perjanjian yang paling terkenal saja dalam masyarakat pada waktu KUHPerdata
dibentuk.
Dalam hukum
perjanjian berlaku suatu asas, yang dinamakan asas konsensualisme. Perkataan
ini berasal dari perkataan latin consensus yang berarti sepakat. Asas
konsensualisme bukanlah berarti untuk suatu perjanjian disyaratkan adanya
kesepakatan. Ini sudah semestinya! Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan,
berarti dua pihak sudah setuju atau bersepakat mengenai sesuatu hal.
Arti asas
konsensualisme ialah pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul
karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan. Dengan
perkataan lain, perjanjian itu sudah sah apabila sudah sepakat mengenai hal-hal
yang pokok dan tidak-lah diperlukan sesuatu formalitas.
Dikatakan juga, bahwa
perjanjian-perjanjian itu pada umumnya "konsensuil". Adakalanya undang-undang
menetapkan, bahwa untuk sahnya suatu perjanjian diharuskan perjanjian itu
diadakan secara tertulis (perjanjian perdamaian) atau dengan akta notaris
(perjanjian penghibahan barang tetap), tetapi hal yang demikian itu merupakan
suatu kekecualian yang lain, bahwa perjanjian itu sudah sah dalam arti sudah
mengikat. Apabila sudah tercapai kesepakatan mengenai hal-hal yang pokok dari
perjanjian itu.
Asas konsensualisme
tersebut lazimnya disimpulkan dari Pasal 1320 KUHPerdata, yang berbunyi :
"Untuk
sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat :
1)
sepakat mereka yang mengikat dirinya;
2)
Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian;
1)
Suatu hal tertentu;
2)
Suatu sebab yang halal".
Oleh karena dalam
pasal tersebut tidak disebutkan suatu formalitas tertentu disamping kesepakatan
yang telah tercapai itu, maka disimpulkan bahwa setiap perjanjian itu sudahlah
sah (dalam arti mengikat) apabila sudah tercapai kesepakatan mengenai hal-hal
yang pokok dari perjanjian itu.
Mengenai
syarat-syarat sahnya suatu perjanjian, pada Pasal 1320 KUHPerdata menetapkan
empat syarat untuk sahnya suatu perikatan, yaitu :
1.
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2.
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3.
Suatu hal tertentu;
4.
Suatu sebab yang halal.
Persetujuan dari
pihak yang mengikatkan diri dari perjanjian atau dengan kata lain, dapat
dikatakan bahwa kedua pihak mencapai kata sepakat mengenai pokok-pokok
perjanjian. Persetujuan masing-masing pihak itu harus dinyatakan dengan tegas,
bukan secara diam-diam, harus bebas dari pengaruh atau tekanan seperti :
1.
Paksaan (Pasal 1321 - 1328 KUHPerdata);
2.
Kekhilafan;
3.
Penipuan.
Persetujuan dua pihak
ini harus diberitahukan kepada pihak lainnya, dapat dikatakan secara
tegas-tegas dan dapat pula secara tidak tegas.
Kecakapan dari
pihak-pihak yang mengadakan perjanjian (Pasal 1329 - 1330 KUHPerdata). Pasal
1330 KUHPerdata mengatur tentang siapa yang dianggap tidak cakap untuk
mengadakan perjanjian. Dalam hal ini dibedakan antara ketidakcakapan (onbekwaam
heid) dan ketidakwenangan (onbevoegheid).
Ketidakcakapan
terdapat apabila seseorang pada umumnya berdasarkan ketentuan undang-undang
tidak mampu untuk membuat sendiri perjanjian dengan sempurna, misalnya
anak-anak yang belum cukup umur, mereka yang ditempatkan dibawah pengampuan.
Sedangkan ketidak-wenangan terdapat bila seseorang, walaupun pada dasarnya
cakap untuk mengikatkan dirinya namun tidak dapat atau tanpa kuasa dari pihak
ketiga, tidak dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum tertentu. Akibat
ketidakwenangan oleh undang-undang tidak diatur, hanya dilihat untuk setiap
peristiwa, apakah akibatnya dan harus diperhatikan maksudnya.
Suatu hal tertentu,
Pasal 1332 KUHPerdata, yaitu barang-barang yang dapat diperdagangkan.
Barang-barang tersebut tidak hanya berupa barang material, tetapi juga barang
immaterial, misalnya perjanjian untuk memberikan les piano, pemeriksaan oleh
dokter dan sebagainya. Prestasinya harus tertentu, sekurang-kurangnya dapat
ditentukan, jumlahnya bisa saja tidak pasti asal kemudian dapat dipastikan,
umpamanya menjual hasil panen diladang yang masih belum bisa dipanen.
Kausa yang halal
(Pasal 1335 - 1337 KUHPerdata), dari pasal-pasal tersebut ternyata ada
perjanjian dengan sebab palsu atau tidak halal, perjanjian tanpa sebab.
Undang-undang tidak memberikan penjelasan apa yang dimaksud dengan sebab
(kausa) itu. Khusus dengan perantaraan pengertian kausa diselidiki apakah
tujuan pembuatan perjanjian apakah untuk itu? Apakah isi perjanjian atau
prestasi yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban
umum atau kesusilaan.
Sedangkan debitur
yang melalaikan atau tidak memenuhi kewajibannya dinamakan melakukan
wanprestasi, sedangkan kreditur terbukti telah melaksanakan prestasinya. Dalam
hal ini debitur wajib mengganti kerugian.
Syarat-syarat
penentuan kerugian :
1.
Pihak debitur llai memenuhi prestasinya;
2.
Pihak debitur tidak berada dalam keadaan
memaksa (overmacht);
3.
Tidak adanya tangkisan dari debitur untuk
melumpuhkan tuntutan;
4.
Adanya somasi (teguran) terlebih dahulu dari
pihak kreditur.
Macam-macam
wanprestasi :
1.
Tidak melaksanakan prestasi sama sekali;
2.
Melaksanakan prestasi, tetapi tidak tepat
pada waktunya;
3.
Melaksanakan tetapi tidak sebagaimana yang
diperjanjikan;
4.
Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian
tidak boleh diperjanjikan.